Review: Adhitya Mulya – Sabtu Bersama Bapak

25158921025_a76449e199_z.png

Secara kebetulan, belakangan daftar literatur sastra Indonesia di sekitar saya banyak berkutat dengan judul berkaitan dengan Ayah atau Bapak. Setelah saya membaca Andrea Hirata: Ayah lalu beberapa lalu, kemudian saya juga sudah membaca setengah jalan Tere Liye: Ayahku (Bukan) Pembohong, beberapa waktu belakangan istri saya merekomendasikan Sabtu Bersama Bapak tulisan Adhitya Mulya. Kebetulan istri mendapat pinjaman ini dari seorang kawannya. Karena istri saya berencana mengembalikan novel ini hari ini setelah meminjamnya selama beberapa bulan, saya pun mengebut menyelesaikan membaca kemarin. Karena bukunya tidak terlalu tebal, pembaca cepat bisa menyelesaikan buku dalam kurang dari 2 jam.

Sebelum masuk mengenai sedikit pembahasan mengenai novel, saya akan memberikan kesimpulan dan rekomendasi dari novel ini. Saya memberikan skor 3 dari 5 bintang, dengan alasan ide cerita yang menarik, banyak pesan moral yang disampaikan namun gaya bahasa yang cenderung pop dan agak sedikit kurang sastra membuat pengalaman membaca novel ini tidak terasa terlalu kaya. Seperti biasa, bagi yang belum membaca novel ini bisa berhenti membaca post ini sekarang untuk menghindari kemungkinan adanya spoiler yang akan saya sampaikan.

Sabtu Bersama Bapak, adalah kisah sebuah keluarga. Bapak Gunawan sang kepala keluarga dan Ibu Itje sang istri memiliki dua anak laki-laki bernama Satya dan Cakra. Bapak Gunawan harus menghadapi kemalangan meninggal muda karena kanker, namun setelah mendapatkan kabar tersebut, alih-alih depresi, dalam waktu singkat yang tersedia Bapak Gunawan menyiapkan segala hal yang dia bisa lakukan untuk perkembangan anak-anaknya kelak. Hal yang disiapkan mulai dari secara finansial dan merekam ratusan sesi video yang berisi pesan-pesan sang ayah kepada anak-anaknya dan beberapa sesi video yang berisi aktivitas keluarga mereka di sisa-sisa umur Pak Gunawan yang tetap bertujuan akhir untuk Pak Gunawan bisa tetap “berbicara” dengan anak-anaknya meskipun kelak ia sudah meninggal dunia. Kumpulan ratusan rekaman video tersebut diputar setiap hari Sabtu setelah Pak Gunawan wafat. Setiap rekaman video ditujukan untuk masa usia tertentu anaknya dan berisi pesan yang spesifik sesuai dengan usia Cakra dan satya pada waktu tersebut.

Dengan ide dasar tersebut, cerita berjalan mengenai bagaimana Satya dan Cakra tumbuh tetap dalam bimbingan bapak mereka melalui video-video tadi, meskipun tanpa kehadiran fisik beliau. Inti pesan-pesan Pak Gunawan berkisar antara harus berencana sedini mungkin, menjadi suami yang baik, menjadi bapak yang nyaris sempurna dan selalu berusaha untuk jujur dan berpegang teguh pada kebenaran.

Separuh cerita berfokus kepada Cakra si anak sulung dengan konflik yang dihadapi saat ia membangun keluarga dengan 3 anak dan bagaimana ia bisa menyikapi konflik yang terjadi. Separuh cerita lain membahas Satya dan pencarian cintanya. Sedikit porsi dari total cerita membahas Ibu Itje dalam upaya membersarkan anak-anaknya dan berusaha menjadi ibu yang independen tanpa merepotkan anak-anaknya.

Cerita disampaikan dengan banyak flashback dan flashforwad dari timeline cerita. Agak sedikit membingungkan ketika timeline melompat dari satu tanggal ke tanggal lain. Sedikit humor tersebar di sini dan sana meskipun dalam kuantitas yang tidak terlalu banyak dan humor yang belum mampu membuat saya tergelak tertawa. Seperti yang sudah saya tulis di atas, banyak pesan moral yang disampaikan Pak Gunawan pada anak-anaknya yang secara tidak langsung disampaikan pada pembaca juga. Poin-poin utama diantaranya adalah untuk mempunyai rencana finansial sebaik mungkin sejak dini dan yang paling utama adalah untuk menjadi seorang anak, suami dan ayah yang baik. Petikan yang tidak akurat, karena saya tidak ingat petikan asli tepatnya yang akan terus saya ingat adalah “Seorang anak kelak akan mempunyai anak. Satu waktu kau mempunyai bapak, kelak kau pun akan menjadi bapak.”

Tinggalkan komentar